Jumat, 20 April 2012

Ramai-ramai Menjegal Maut Dengan Teknologi?

"AKU ingin hidup seribu tahun lagi!" teriak Khairil Anwar dalam puisinya, Aku. Keinginan itu tentu tak masuk akal. Begitu juga bagi Tante Titiek Puspa, artis serba bisa yang selalu menjadi ikon awet muda. "Ah, enggak mungkin," tutur eyang 14 cucu, yang pekan depan, 1 November, akan berulang tahun ke-68. "Masak bisa berumur sampai segitu," katanya.

Namun, bagi Raymond Kurzweil, seorang guru-techno, begitu ia biasa disebut, keinginan hidup abadi itu hanya berjarak 25 tahun lagi. Pada 2030, Kurzweil yakin, dengan bantuan teknologi, manusia bisa menolak kematian!

Nama Kurzweil memang jarang terdengar. Sayup-sayup orang hanya akan teringat pada piano atau keyboard dengan merek "Kurzweil". Memang tidak salah. Pria kelahiran Queens, New York, itu adalah pencipta synthesizer piano. Tetapi, bagi ribuan penganut hidup abadi, Kurzweil adalah ''Bapak Keabadian''. Kurzweil adalah seorang teknolog, inventor, sekaligus futurolog.


Kurzweil kini sedang sibuk mengadakan jumpa fans sambil mempromosikan bukunya yang terbaru, The Singularity is Near, yang mulai dipasarkan Senin pekan ini. Kurzweil berada di New York selama dua hari pekan lalu, kemudian terbang ke San Fancisco. Setelah acara promosi di kota itu, ia dijadwalkan memberikan ceramah berturut-turut di Washington, DC, dan Los Angeles hingga pekan depan.

Banyak yang meramalkan Singularity bakal laris manis seperti karya Kurzweil sebelumnya, Fantastic Voyage: Live Long Enough to Live Forever (2004). Isi kedua buku ini sebenarnya tak beda jauh, berbicara tentang upaya awet muda dan hidup abadi. Hanya saja, dalam Singularity, Kurzweil lebih menekankan bahwa "hari penentuan" sudah makin dekat. Itulah apa yang dia sebut dengan technological singularity.

Kurzweil memerlukan beberapa buku untuk menerangkan seluruh konsepnya itu. Tapi, pada intinya, apa yang dia sebut sebagai singularity adalah suatu kondisi ketika kecepatan teknologi tak terbendung lagi, sehingga manusia mampu mengatasi berbagai masalah badaniah dan lingkungan.

Saat teknologi menyatu dengan manusia, maka terciptalah suatu kondisi yang memungkinkan manusia menjelma menjadi makhluk lebih sempurna. Para penyokong teori ini menyebutnya proses "trans-humanisme". Terdengar mirip dongeng ala Superman?

Tapi, hei, Kurzweil benar-benar serius dengan konsepnya. "Saya tidak mengambil gagasan ini dari langit-langit begitu saja," katanya kepada BusinessWeek. Ia punya Kurzweil Technologies Inc, sebuah lembaga riset bergengsi. "Saya punya 18 tenaga ahli untuk menganalisis berbagai pencapaian teknologi pada 52 cabang disiplin ilmu," kata Kurzweil. Dari hasil pantauan itulah Kurzweil meramalkan masa depan.

Menurut Kurzweil, lompatan bioteknologi dan kedokteran bakal mampu menghentikan proses penuaan pada manusia. Itu terjadi pada 2030. Menurut Kurzweil, ada tiga jembatan proses yang harus dilalui untuk menuju keabadian. Pertama, berterima kasihlah pada nanoteknologi yang mampu menciptakan nanorobot yang ukurannya bisa sekecil sel darah merah, yang dapat memperbaiki berbagai kerusakan tubuh.

Jembatan kedua adalah revolusi bioteknologi yang membawa manusia mengatasi keterbatasan tubuh biologisnya. Berbagai penyakit bisa diatasi, proses penuaan dapat dihambat, dan fungsi tubuh jadi lebih optimal. Namun, sebelum kedua jembatan tadi tercipta, sambil menunggu, manusia harus melewati jembatan pendahuluan. Yakni bertahan hidup dengan teknologi "primitif": diet dan olahraga.

Jika ketiga jembatan itu terbentuk, dampaknya sangat besar pada kehidupan manusia. Dalam Singularity, Kurzweil bercerita, jantung manusia di masa depan dapat beristirahat. Sebab tugasnya sudah digantikan oleh nanorobot yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

Bahkan, pada 2050, Kurzweil percaya, akhirnya teknologi mengizinkan otak manusia untuk meninggalkan tubuh "berairnya" pindah ke tubuh robot. Di situlah kemudian tercipta sebuah "keabadian". Pendek kata, Kurzweil menganggap manusia bakal mampu meraih keabadian dalam genggaman, menghindari sang malaikat maut!

Hmm... benarkah Kurzweil berpikir terlalu keras? Mungkin iya, tapi sejauh ini berbagai ramalan ilmiahnya terbukti terjadi. Dalam bukunya, The Age of Intelligent Machines (ditulis pada 1988 dan diterbitkan 1990), Kurzweil menyebutkan akan terwujud "sebuah jaringan komputer dunia" dalam beberapa tahun saja. Ramalan itu terbenarkan dengan merebaknya jaringan internet pada 1991.

Buku itu juga meramalkan bahwa mesin cerdas buatan manusia, AI (artificial intelligence), bakal mengalahkan kemampuan pikir manusia. Pada 1997, juara catur dunia Garry Kasparov benar-benar kalah oleh komputer pintar Deep Blue buatan IBM. Apalagi, Kurzweil ternyata tak sendiri dengan khayalan dan teori-teorinya itu. Di Barat, sejak 1980-an, sebenarnya sudah muncul gerakan yang menyebut diri "trans-humanisme".

Istilah trans-humanisme pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Amerika, F.M. Esfandiary, pada 1966. Ketika mengajarkan konsep tentang manusia, ia selalu menyinggung bahwa di masa depan bakal terjadi proses trans-humanisme. "Ini terjadi ketika manusia mengadopsi lompatan teknologi dan lingkungan sosial menjadi sosok post-humanity, manusia baru," tulis Esfandiary.

Seperti apa manusia baru ini, tak jelas. Menurut para penyokongnya, semua baru bisa dilihat di masa depan. Yang pasti, mereka yang ingin menjadi trans-humanis sangat banyak. Anggota kelompok ini juga tak main-main. Mereka berasal dari kalangan intelektual. Mulai ahli biologi, fisikawan, molekuler, hingga filsuf.

Mereka membentuk berbagai macam organisasi. Menurut catatan Wikipedia.com, setidaknya ada 13 organisasi trans-humanisme di dunia dengan anggota mencapai ribuan orang. Yang terbesar dan paling aktif, antara lain, adalah Extropy Institute dan The World Trans-humanist Association (WTA). Organisasi terakhir ini mengklaim telah memiliki 3.000 anggota dari seluruh dunia sejak didirikan pada 1998.

Mereka rajin mengadakan pertemuan rutin, berdiskusi segala hal tentang trans-humanisme. "Kami adalah lembaga terbesar dan paling representatif saat ini," kata Direktur Eksekutif WTA, James Hughes, PhD, kepada Gatra. Sehari-hari, Hughes adalah sosiolog yang mengajar di Trinity College, Connecticutt.

Fenomena Kurzweil, menurut Hughes, hanya bagian dari gerakan trans-humanisme dunia. "Kurzweil itu tak setuju dengan istilah trans-humanisme, karena ia menganggap itu suatu perubahan menuju hal yang bukan manusia. Tapi ia seorang trans-humanis," kata Hughes. Seperti para trans-humanis lainnya, Hughes percaya bahwa teknologilah yang mampu membawa manusia pada keabadian.

"Sama seperti mereka yang percaya tentang kehidupan abadi setelah mati," ujar Hughes sambil berterus terang bahwa ia tak punya agama. Benarkah teknologi mampu mempecundangi malaikat maut? Sejauh ini, fakta di lapangan tak terlalu mendukung. Beberapa negara belahan Timur justru punya warga yang lebih panjang umur dibandingkan dengan dunia Barat. Padahal, temuan teknologi revolusioner umumnya terjadi di dunia Barat.

Lihat saja berbagai survei internasional tentang angka harapan hidup. Jepang selalu tercatat menyimpan orang berusia tua lebih banyak dari negara lain. Data terakhir Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan, warga yang mendekati umur 100 tahun mencapai 25.600 orang. Jumlah ini bertambah sebesar 2.000 orang dari tahun sebelumnya. Angka rata-rata harapan hidup di "negeri sakura" itu memang tertinggi di dunia: 81,6 tahun.

Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik 2005 menunjukkan, angka harapan hidup tertinggi ada di Yogyakarta, 73 tahun, dan terendah di Nusa Tenggara Barat, 60,9 tahun. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Yogyakarta, Dr. Bondan Agus Suryanto, faktor kesehatan mentallah yang berpengaruh. Warga Yogya tak gampang stres. "Itu karena pola hidup yang damai dan toleransi yang besar," kata Bondan kepada wartawan Gatra Mukhlison S. Widodo.

Kembali ke soal gerakan trans-humanisme, banyak ilmuwan menyatakan tak sepaham. Sebab kalkulasi kaum trans-humanis terhadap loncatan teknologi tak seperti kenyataan di lapangan. "Perkembangan dan terapan teknologi hanya berupa garis datar, bukannya menjulang tinggi," kata Theodore Modis, fisikawan dari Universitas Kolumbia. Modis mengatakan, teknologi hanya dapat melaju jika ia laku keras di pasar.

"Sebaliknya, ia akan mandek jika tak menguntungkan atau tak ada yang memakai," kata Modis. Jadi, Modis yakin, proses singularity yang disebut-sebut tak bakalan terjadi. Selain itu, menurut Modis, walau manusia sampai pada era nanoteknologi, beberapa aspek masih ketinggalan. Misalnya, hingga kini teknologi masih bergantung pada minyak bumi. "Suatu unsur yang belum tergantikan yang mungkin habis di masa depan," tutur Modis.

Menurut sebagian besar ahli yang dihubungi Gatra, teknologi memang bisa saja menghambat proses penuaan. Tetapi untuk hidup abadi? Nanti dulu. "Setiap penyakit ada obatnya, kecuali soal penuaan," kata Dr. Troebos Poerwadi, ahli gerontologi di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Surabaya. Troebos mengatakan, meskipun teknologi makin maju, bukan berarti dapat menghentikan proses penuaan sama sekali.

"Itu hanya sikap orang Barat yang ingin hidup kekal. Tapi buat apa abadi jika tak berguna," katanya kepada wartawan Gatra Rach Alida Bahaweres. Neurolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. Bob Santoso Wibowo mengatakan, secara teoretis, menghentikan proses penuaan bisa dilakukan. Tetapi pada prakteknya sangat sulit dilaksanakan.

"Tubuh manusia itu seringkali tidak bisa dihitung secara matematis," katanya. Beberapa bagian tubuh manusia, seperti sistem saraf, sangat rumit. Begitu juga jaringan lainnya. Hingga kini, para ahli belum sepenuhnya memetakan jaringan DNA manusia. Bagi Dr. Rachmat Soegih, ahli gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, beberapa resep awet muda Kurzweil merupakan pengembangan teori yang sudah ada.

Ia sepakat bahwa teknologi bisa memperbaiki kualitas hidup manusia. "Tetapi kalau soal kematian adalah urusan Tuhan. Teknologi secanggih apa pun tak dapat menjamin dapat hidup selamanya," kata Soegih.

Kalau ingin hidup awet muda, tak usah neko-neko. Contoh saja kiat Tante Titiek Puspa. Kuncinya, kata Titiek, adalah menjalani hidup tanpa stres. Semua manusia tentu punya keinginan. Tapi keinginan itu harus ditempatkan di jalan yang baik, lurus, dan jelas. "Itu adalah jalan yang diridoi Allah," katanya.
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar