Herman duduk termenung, seperti sedang meikirkan sesuatu. Mungkin
ia sedang memikirkan apakah besok ia masih bisa makan atau tidak. Ya, Herman
terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai pembuat
tampah dari bambu, sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai buruh serabutan yang
penghasilanya juga tak tentu. Sering tampahnya tak laku terjual. Kalaupun
terjual, ia hanya mengantongi uang lima ribu rupiah untuk setiap bijinya.
Herman adalah anak pertama dari empat bersaudara, dan ia sekarang
duduk di bangku kelas satu SMA di salah satu sekolah favorit di kotanya. Wajar,
karena Herman adalah anak yang pandai, bahkan bisa dikatakan jenius. Ia juga
sering menjuarai berbagai lomba matematika baik tingkat regional maupun
nasional. Tapi ketidakpedulian pemerintahlah yang membuat kehidupan si jenius
ini masih kekurangan. Ia tinggal di pelosok desa. Untuk mencapai sekolahnya ia
harus menempuh jarak sejauh 6 km dengan jalan kaki dari rumahnya.
Suatu hari Herman ditunjuk gurunya untuk mengikuti lomba matematika
yang diadakan salah satu universitas negeri. Ia berhasil menjadi juara dan
berhak mendapatkan uang pembinaan dan piala. Ia sangat senang. Setelah itu ia
langsung pulang ke rumah. Tiba-tiba, dari arah belakang seorang pengendara
motor yang sedang mabuk menabrak Herman dari belakang. Herman terlempar, piala
yang dipegangnya hancur. Hermanpun tak sadarkan diri.
Setelah Herman sadar, ia baru mengetahui bahwa dirinya baru saja
koma selama 2 hari. Saat ia membuka selimu, ia kaget saat ia melihat kedua kakinya
sudah tidak ada. Ternyata kakinya diamputasi karena kerusakan yang sangat
parah. Ia sangat sedih, ia menjadi putus asa akan hidupnya. Tapi sebuah surat
kabar yang menceritakan kesuksesan seorang penyandang cacat telah membangkitkan
semangatnya.
Akhirnya ia putus sekolah dan bekerja membantu kedua orang tuanya.
Dengan kejeniusan yang dimilikinya, ia bekerja sebagai guru les SMP dan SMA.
Bahkan ia juga bisa mengajar les kelas tiga SMA. Dengan kursi roda
kesayanganya, ia sangat mahir menerangkan mapel matematika, fisika, dan kimia
layaknya seorang professor. Karena kerja kerasnya, dalam empat tahun ia dapat
melunasi utang rumah sakitnya. Dan karena pekerjaanya itu, kehidupan
keluarganya menjadi lebih baik.
Ternyata kejeniusanya sampai juga di telinga seorang ilmuwan di
kotanya. Akhirnya ia direkrut dan diangkat menjadi asistennya. Si professor
sadar akan kejeniusanya, maka ia menyekolahkan Herman agar ia mendapat gelar
resmi. Herman hanya menempuh pendidikan SMA selama satu tahun dan langsung
melanjutkan kuliah di Universitas Harvard, Amerika Serikat karena kejeniusanya.
Di sana ia agak minder karena tak punya kaki. Kadang ia juga merindukan
keluarga dan kampong halamannya. Tapi setidaknya biaya keluarganya sudah
dijamin pemerintah.
Setelah enam tahun berlalu, Herman keluar lulus dari Harvard, lalu
ia bekerja sebagai dosen di Universitas Ohio. Di sana ia menjadi dosen
matematika. Berkat kejenisuanya, ia dapat memecahkan persoalan teori E8, teori
yang sudah lama tidak terpecahkan. Ternyata NASA sangat tertarik dengan
kejeniusanya, dan akhirnya Herman direkrut bejerja di NASA. Di sana ia bekerja
memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan luar angkasa. Tapi di luar
kesuksesan yang ia raih, sering ia rindu rumahnya, kadang ia menangis
memikirkan dan merindukan keluarganya. Hari- harinya hanya dilalui dengan
makan, tidur, dan memecahkan soal. Ia benar-benar tertekan. Da setelah 5 tahun
bekerja di NASA, ia memutuskan untuk keluar dan kembali ke Indonesia. Ia
bertekad untuk mencerdaskan anak bangsa, terutama bagi penyandang cacat seperti
dirinya
Herman
sadar bahwa kebahagian terbesarnya adalah dapat berkumpul dengan keluarga dan
bermanfaat bagi orang lain. Ia kemudian mendirikan yayasan khusus bagi
penyandang cacat dan anak-anak jalanan. Selain itu ia juga bekerja sebagai
dekan matematika di UI. Bagaimanapun ia lebih bahagiahidup berdampingan dengan
keluarganya dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Ia selalu ingat pesan orang
tuanya, “ jangan berpikir apa yang dapat bangsa berikan padamu, tapi pikirkan
apa yang dapat kau b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar