Minggu, 19 Agustus 2012

Teleportasi Quantum


Oleh: Anton Zeilinger
(Sumber: Scientific American, Special Edition – The Edge of Physics, 31 Mei 2003, hal. 34-43)
Impian sains fiksi yakni “menyorotkan” objek dari satu tempat ke tempat lain kini sudah menjadi kenyataan—setidaknya untuk partikel cahaya.

Pelancong tiba di terminal teleportasi Grand Central Station. Walaupun penteleportasian objek besar, apalagi makhluk hidup, takkan pernah mudah, teleportasi status-status quantum elementer telah didemonstrasikan.
Adegan ini familiar dalam sains fiksi dan TV: sekumpulan penjelajah pemberani memasuki bilik khusus; cahaya bergetar, efek suara berkicau, dan para pahlawan kita berkelip lenyap dan muncul kembali di permukaan sebuah planet jauh. Ini adalah impian teleportasi—kemampuan untuk bepergian dari tempat ke tempat tanpa harus melalui bermil-mil jarak membosankan serta kendaraan fisik dan jatah makanan maskapai. Walaupun teleportasi objek besar atau manusia masih tetap fantasi, teleportasi quantum telah menjadi realita laboratorium untuk photon, partikel cahaya.

Teleportasi quantum mengeksploitasi sebagian dari fitur-fitur terdasar (dan terganjil) mekanika quantum, cabang fisika yang ditemukan pada perempat pertama abad 20 untuk menjelaskan proses-proses yang terjadi pada level atom-atom. Dari awal, para teoris menyadari bahwa fisika quantum menuntun pada banyak fenomena baru, yang sebagiannya tak masuk akal. Kemajuan teknologi pada perempat akhir abad 20 memungkinkan periset menjalankan banyak eksperimen yang bukan hanya mendemonstrasikan aspek-aspek mekanika quantum yang fundamental, dan terkadang ganjil, tapi juga, seperti dalam kasus teleportasi quantum, menerapkannya untuk mencapai prestasi yang sebelumnya tak terbayangkan.
Dalam kisah-kisah sains fiksi, teleportasi sering memperkenankan perjalanan seketika, melanggar batas kecepatan yang digariskan oleh Albert Einstein, yang menyimpulkan dari teori relativitasnya bahwa tak ada yang dapat bergerak lebih cepat daripada cahaya. Teleportasi juga lebih praktis ketimbang sarana-sarana lumrah perjalanan antariksa. Konon, Gene Roddenberry, pencipta Star Trek, membayangkan “sorot pengangkut” sebagai cara untuk menghemat pengeluaran mensimulasi pendaratan dan lepas-landas di planet asing.
Prosedur teleportasi dalam sains fiksi berbeda-beda di setiap kisah tapi umumnya berjalan sebagai berikut: sebuah perangkat memindai objek asli untuk mengekstrak semua informasi yang diperlukan untuk mendeskripsikannya. Sebuah pemancar mengirim informasi tersebut ke stasiun penerima, di mana [informasi] itu digunakan untuk memperoleh replika persis objek asli. Dalam beberapa kasus, material yang menyusun objek asli juga diangkut ke stasiun penerima, barangkali sebagai suatu jenis energi; dalam kasus lain, replika tersusun dari atom dan molekul yang sudah ada di stasiun penerima.
Mekanika quantum menjadikan skema teleportasi semacam itu mustahil secara prinsip. Prinsip ketidakpastian Heisenberg mengatur bahwa kita tak bisa mengetahui posisi presisi sebuah objek maupun momentumnya pada waktu bersamaan. Jadi, kita tak bisa melakukan pemindaian sempurna objek yang hendak diteleportasikan; lokasi atau kecepatan setiap atom dan elektron bisa keliru. Prinsip ketidakpastian Heisenberg juga berlaku pada pasangan-pasangan kuantitas lain, membuat kita mustahil dapat mengukur persis status quantum total suatu objek dengan pasti. Padahal pengukuran semacam itu diperlukan untuk memperoleh semua informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan objek asli secara persis. (dalam Star Trek, “Kompensator Heisenberg” secara ajaib mengatasi kesulitan ini.)
Sebuah tim fisikawan menggulingkan kebijakan konvensional ini pada 1993, ketika mereka menemukan cara teoritis untuk menggunakan mekanika quantum sendiri untuk teleportasi. Tim itu—Charles H. Bennett dari IBM; Gilles Brassard, Claude Crépeau, dan Richard Josza dari  Universitas Montreal; Asher Peres dari Technion-Israel Institute of Technology; dan William K. Wootters dari Williams College—menemukan bahwa sebuah fitur ganjil tapi fundamental mekanika quantum, keterjeratan, dapat dipakai untuk menghindari pembatasan yang diberlakukan oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg tanpa melanggarnya.
Keterjeratan
Tahun 2100. Seorang teman yang senang mencoba-coba fisika dan trik-trik pesta membawakan Anda sekumpulan pasangan dadu. Dia menyuruh Anda menggelindingkannya sekali, satu pasang dalam satu waktu. Anda memegang pasangan pertama secara hati-hati, teringat kegagalan dengan black hole mikro pada Natal lalu. Terakhir, Anda menggelindingkan dua dadu dan mendapatkan 3 ganda. Anda menggelindingkan dadu berikutnya. 6 ganda. Yang berikutnya: 1 ganda. Mereka selalu cocok.
Dadu dalam kisah ini berperilaku seolah mereka adalah partikel quantum [yang saling] terjerat. Setiap dadu adalah sembarang dan normal, tapi partner terjeratnya selalu memberikan hasil cocok yang tepat. Perilaku semacam itu telah dibuktikan dan dipelajari secara intensif dengan partikel terjerat riil. Dalam eksperimen tipikal, pasangan-pasangan atom, ion, atau photon menggantikan dadu, dan atribut semisal polarisasi menggantikan muka dadu.
Pertimbangkan kasus dua photon yang polarisasinya terjerat sebagai partikel sembarang tapi identik. Sorot cahaya dan bahkan photon-photon terdiri dari osilasi medan-medan elektromagnet, dan polarisasi mengacu pada kesejajaran osilasi medan listrik [lihat ilustrasi di bawah]. Asumsikan Alice memiliki salah satu dari [pasangan] photon terjerat dan Bob memiliki partnernya. Ketika Alice mengukur photon miliknya untuk memeriksa apakah ia terpolarisasi secara horizontal ataukah vertikal, masing-masing hasil [pengukuran] memiliki kemungkinan 50%. Photon milik Bob mempunyai probabilitas sama, tapi keterjeratan memastikan bahwa dia akan mendapatkan hasil yang sama persis dengan Alice. Tak lama setelah mendapatkan hasil “horizontal”, Alice tahu bahwa photon Bob juga akan terpolarisasi horizontal. Sebelum pengukuran oleh Alice, kedua photon tidak memiliki polarisasi tersendiri; status terjerat hanya menetapkan bahwa pengukuran akan mendapati kedua polarisasi setara.

Cahaya tak terpolarisasi terdiri dari photon-photon yang terpolarisasi ke segala arah (a). Pada cahaya terpolarisasi, osilasi medan listrik photon (anak panah) sejajar semuanya. Kristal kalsit (b) memecah sorot cahaya, mengirim photon-photon yang terpolarisasi secara sejajar dengan porosnya menjadi satu sorot dan photon-photon yang tegaklurus menjadi sorot lain. Sudut perantara memasuki superposisi quantum kedua sorot tersebut. Masing-masing photon dapat dideteksi di salah satu sorot, dengan probabilitas tergantung pada sudutnya. Karena melibatkan probabilitas, kita tak bisa mengukur polarisasi satu photon pun dengan pasti.
Aspek mengagumkan dari proses ini adalah bahwa tak masalah apakah Alice dan Bob terpisah sangat jauh; proses ini bekerja selama keterjeratan photon milik mereka terjaga. Sekalipun Alice berada di Alpha Centauri dan Bob di Bumi, hasil mereka akan selaras ketika dibandingkan. Seolah photon Bob dipengaruhi secara ajaib oleh pengukuran jarak yang dilakukan Alice, dan sebaliknya.

Teleportasi quantum seorang manusia (prakteknya mustahil tapi merupakan contoh bagus untuk membantu imajinasi) dimulai dengan menempatkannya di dalam bilik pengukuran (kiri) berdampingan dengan material bantu bermassa setara (hijau). Materi bantu tersebut sebelumnya telah dijerat-quantum dengan rekan imbangannya, yang berada jauh di stasiun penerima (kanan).

Pengukuran gabungan yang dilakukan terhadap materi bantu dan manusia (kiri) mengubah mereka ke status quantum acak dan menghasilkan banyak data acak (tapi signifikan)—dua bit per status elementer. Melalui “tindakan mengerikan di kejauhan”, pengukuran juga serta-merta mengubah status quantum materi imbangan di stasiun yang jauh (kanan).

Data pengukuran harus dikirim ke stasiun penerima yang jauh lewat sarana konvensional. Proses ini dibatasi oleh kecepatan cahaya, membuat kita mustahil dapat menteleportasi manusia melebihi kecepatan cahaya.

Stasiun penerima mereproduksi si pelancong, persis hingga status quantum setiap atom dan molekulnya, dengan menyesuaikan status materi imbangan menurut data pengukuran acak yang dikirim dari stasiun pemindai.
Anda mungkin bertanya-tanya apakah kita dapat menjelaskan keterjeratan dengan membayangkan bahwa setiap partikel mengangkut beberapa rekaman instruksi. Barangkali, ketika kita menjerat kedua partikel, kita mensinkronkan suatu mekanisme tersembunyi di dalamnya yang menentukan hasil yang akan mereka berikan ketika diukur. Ini akan menjelaskan efek misterius terhadap partikel Bob akibat pengukuran oleh Alice. Namun pada 1960-an fisikawan Irlandia, John Bell, membuktikan sebuah teorema bahwa dalam situasi tertentu, penjelasan “variabel tersembunyi” keterjeratan quantum semacam itu harus membuahkan hasil yang berbeda dari prediksi mekanika quantum standar. Para pelaksana eksperimen telah mengkonfirmasi prediksi mekanika quantum hingga akurasi amat tinggi.

Pasangan-pasangan photon terjerat tercipta ketika sinar laser melewati kristal semisal beta barium borate. Kristal itu adakalanya mengkonversi satu photon ultraviolet menjadi dua photon berenergi rendah, yang satu terpolarisasi secara vertikal (pada kerucut merah), yang satu lagi terpolarisasi secara horizontal (pada kerucut biru). Jika photon-photon ini kebetulan berjalan sepanjang interseksi kerucut (garis hijau), tak ada photon yang memiliki polarisasi pasti, tapi polarisasi relatif mereka bersifat komplementer: dengan demikian mereka saling terjerat. Citra berwarna (kanan) adalah foto cahaya terkonversi. Warna ini tidak merepresentasikan warna cahaya.
Fisikawan Austria, Erwin Schrödinger, salah satu penemu mekanika quantum, menyebut keterjeratan sebagai “fitur esensial” fisika quantum. Keterjeratan sering disebut sebagai efek EPR dan partikelnya sebagai pasangan EPR, diambil dari nama Einstein, Boris Podolsky, dan Nathan Rosen, yang pada 1935 menganalisa efek-efek keterjeratan yang beraksi pada jarak besar. Einstein menyebutnya sebagai “tindakan mengerikan di kejauhan”. Jika kita mencoba menjelaskan hasil-hasil perihal sinyal yang berjalan di antara photon-photon, sinyal itu pasti bergerak lebih cepat daripada cahaya. Tentu saja, banyak orang bertanya-tanya apakah efek ini bisa dipakai untuk mentransmisikan informasi lebih cepat daripada cahaya.
Sayangnya, aturan quantum menjadikan hal itu mustahil. Setiap pengukuran lokal terhadap photon, dianggap dalam kondisi terisolir, membuahkan hasil yang acak sama sekali sehingga tak dapat mengangkut informasi dari lokasi jauh. Itu tak memberitahu apa-apa selain probabilitas hasil pengukuran jauh, tergantung apa yang diukur di sana. Meski begitu, kita dapat mempekerjakan keterjeratan secara cerdik untuk mencapai teleportasi quantum.
Menteleportasi Photon
Alice dan Bob sudah mengantisipasi bahwa suatu hari kelak ingin menteleportasi sebuah photon. Dalam persiapan, mereka berbagi-pakai sepasang photon terjerat, Alice mengambil photon A sedangkan Bob photon B. Bukannya mengukurnya, mereka menyimpan photon masing-masing tanpa mengganggu status terjerat [lihat ilustrasi di bawah].

Teleportasi quantum ideal bergantung pada Alice (pengirim) dan Bob (penerima), yang berbagi-pakai sepasang partikel terjerat, A dan B. Alice memiliki partikel yang berstatus quantum tak dikenal, X. Alice melakukan pengukuran status Bell terhadap partikel A dan X, menghasilkan salah satu dari empat kemungkinan hasil. Dia memberitahu Bob tentang hasilnya melalui sarana biasa. Tergantung hasil Alice, Bob membiarkan partikelnya tak berubah (1) atau merotasinya (2, 3, 4). Bagaimanapun, itu menghasilkan replika partikel X.
Kemudian, Alice memiliki photon ketiga—sebut saja photon X—yang ingin dia teleportasikan kepada Bob. Dia tak tahu bagaimana status photon X itu, tapi dia ingin Bob memiliki photon berstatus polarisasi yang sama. Umumnya, hasil pengukuran Alice takkan identik dengan status awal photon X. Di sinilah prinsip ketidakpastian Heisenberg bekerja.
Untuk menteleportasi photon X, Alice mengukurnya bersamaan dengan photon A, tanpa menetapkan polarisasi mereka masing-masing. Dia mungkin menemukan, misalnya, bahwa polarisasi mereka “tegaklurus” terhadap satu sama lain (namun, dia masih belum tahu polarisasi absolut keduanya). Secara teknis, pengukuran gabungan menjerat photon A dan photon X dan disebut sebagai pengukuran status Bell. Pengukuran Alice menghasilkan efek halus: mengubah photon milik Bob hingga berkorelasi dengan kombinasi hasil pengukuran Alice dan status awal photon X. Nyatanya, photon milik Bob kini mengangkut status photon X, baik secara persis ataupun termodifikasi sederhana.
Untuk menyelesaikan teleportasi, Alice harus mengirim pesan kepada Bob—pesan yang berjalan melalui sarana konvensional, misalnya panggilan telepon atau catatan kertas. Setelah Bob menerima pesan ini, jika perlu Bob dapat mentransformasi photon B miliknya, dengan hasil akhir menjadi replika persis photon X asli. Transformasi yang Bob terapkan tergantung pada hasil pengukuran Alice. Ada empat kemungkinan, ekuivalen dengan empat relasi quantum di antara photon A dan X milik Alice. Transformasi tipikal yang harus Bob terapkan pada photon B adalah mengubah polarisasinya sebesar 90 derajat, yang bisa dia lakukan dengan mengirimnya melewati kristal beratribut optik sesuai.
Hasil manapun yang diperoleh Alice di antara keempat kemungkinan adalah acak dan tak tergantung pada status awal photon X. Oleh karena itu Bob tak tahu bagaimana memproses photon B sampai dia mengetahui hasil pengukuran Alice. Kita bisa bilang bahwa photon milik Bob seketika mengandung semua informasi dari [photon X asli] milik Alice, yang diangkut ke sana melalui mekanika quantum. Tapi untuk mengetahui bagaimana membaca informasi itu, Bob harus menunggu informasi klasik, yang terdiri dari dua bit yang berjalan tidak lebih cepat daripada cahaya.
Kaum skeptis mungkin mengeluh bahwa yang diteleportasikan hanyalah status polarisasi photon atau, lebih umumnya, status quantumnya, bukan photon “itu sendiri”. Tapi karena status quantum photon merupakan karakteristik penentunya, penteleportasian statusnya ekuivalen dengan penteleportasian partikel sendiri [lihat boks Pojok Skeptis].
Catat, teleportasi quantum tidak menghasilkan dua salinan photon X. Informasi klasik bisa disalin berkali-kali, tapi penyalinan sempurna informasi quantum adalah mustahil, ini dikenal sebagai no-cloning theorem, yang dibuktikan pada 1982 oleh Wootters dan Wojciech H. Zurek dari Los Alamos National Laboratory. (Jika kita bisa mengkloning status quantum, kita bisa memakai kloning-kloning itu untuk melanggar prinsip Heisenberg.) Pengukuran Alice sesungguhnya menjerat photon A dengan photon X, sehingga photon X kehilangan semua memori tentang, boleh kita bilang, status awalnya. Sebagai anggota sebuah pasangan terjerat, photon X tak memiliki status polarisasi tersendiri. Jadi, status awal photon X lenyap dari kekuasaan Alice.
Menghindari Heisenberg
Selanjutnya, status photon X telah ditransfer ke Bob tanpa Alice ataupun Bob ketahui bagaimana statusnya. Hasil pengukuran Alice, yang acak, tak memberitahu mereka tentang statusnya. Inilah cara proses tersebut menghindari prinsip Heisenberg, yang melarang kita menetapkan status quantum utuh sebuah partikel tapi tidak menghalangi penteleportasian status utuh selama kita tidak mencoba memeriksa bagaimana statusnya!
Di samping itu, informasi quantum yang diteleportasikan tidak berjalan secara materil dari Alice ke Bob. Yang berjalan secara materil hanyalah pesan tentang hasil pengukuran Alice, yang memberitahu Bob bagaimana memproses photonnya tapi tak mengangkut informasi tentang status photon X sendiri.
Dalam satu dari empat kasus, Alice beruntung dengan pengukurannya, dan photon milik Bob segera menjadi replika identik photon X milik Alice. Mungkin terasa seolah informasi telah berjalan secara seketika dari Alice ke Bob, mengalahkan batas kecepatan Einstein. Tapi fitur aneh ini tidak dapat dipakai untuk mengirim informasi, sebab Bob tak punya cara untuk mengetahui bahwa photon miliknya sudah menjadi replika identik. Baru setelah dia mengetahui hasil pengukuran status Bell oleh Alice, yang ditransmisikan kepadanya lewat sarana klasik, Bob dapat meengksploitasi informasi pada status quantum yang diteleportasikan. Jika dia mencoba menebak teleportasi mana yang berhasil, dia akan keliru 75% pada saat itu, dan dia takkan tahu tebakan mana yang benar. Jika dia menggunakan photon berdasarkan tebakan semacam itu, hasilnya akan sama dengan seandainya dia mengambil sesorot photon berpolarisasi acak. Jadi, relativitas Einstein berlaku; bahkan tindakan instan mengerikan di kejauhan ala mekanika quantum ini gagal mengirim informasi berguna lebih cepat daripada cahaya.
Kelihatannya proposal teoritis yang digambarkan di atas menyusun cetakbiru yang jelas untuk membangun teleporter; faktanya sebaliknya, ia menghadirkan tantangan eksperimen yang besar. Menghasilkan pasangan photon terjerat telah menjadi rutinitas dalam eksperimen-eksperimen fisika dalam dekade belakangan ini, tapi pengukuran status Bell terhadap dua photon independen belum pernah dilakukan sebelumnya.
Membangun Teleporter
Cara hebat untuk menghasilkan pasangan photon terjerat adalah spontaneous parametric down-conversion: sebuah photon yang melewati kristal khusus terkadang menghasilkan dua photon baru yang terjerat sehingga mereka akan memperlihatkan polarisasi berlawanan ketika diukur.
Persoalan yang jauh lebih sulit adalah menjerat dua photon independen yang sudah eksis, sebagaimana pasti terjadi dalam operasi penganalisa status Bell. Ini berarti kedua photon (A dan X) harus kehilangan fitur pribadi. Pada 1997, kelompok saya (Dik Bouwmeester, Jian-Wei Pan, Klaus Mattle, Manfred Eibl, dan Harald Weinfurter), kala itu di Universitas Innsbruck, menerapkan sebuah solusi pada persoalan ini dalam eksperimen teleportasi kami [lihat ilustrasi di bawah].

Eksperimen Innsbruck berawal dengan pulse pendek sinar laser ultraviolet. Berjalan dari kiri ke kanan melewati kristal, pulse ini menghasilkan pasangan terjerat photon A dan B, yang berjalan menuju Alice dan Bob. Terpantul kembali melewati kristal, pulse menciptakan dua photon lain, C dan D. Sebuah polarisator mempersiapkan photon D dalam status spesifik, X. Photon C terdeteksi, mengkonfirmasi bahwa photon X telah dikirim ke Alice. Alice mengkombinasikan A dan X menggunakan pemecah sorot. Jika dia mendeteksi satu photon di tiap detektor (paling banter kemungkinannya 25%), dia memberitahu Bob, yang memakai pemecah sorot pempolarisasi untuk memverifikasi bahwa photon miliknya telah mendapatkan polarisasi X, dengan demikian mendemonstrasikan teleportasi.
Dalam eksperimen kami, pulse singkat cahaya ultraviolet dari sebuah laser melewati kristal dan menciptakan photon A dan B yang [saling] terjerat. Yang satu berjalan ke Alice, yang lain ke Bob. Sebuah cermin memantulkan balik pulse ultraviolet melewati kristal lagi, di mana itu bisa menciptakan pasangan photon lainnya, C dan D. (Ini juga akan [saling] terjerat, tapi kami tak menggunakan keterjeratan mereka.) Photon C berjalan ke detektor, yang memperingatkan kami bahwa partnernya, D, bisa diteleportasikan. Photon D melewati polarisator, yang dapat kami orientasikan dengan cara yang mungkin. Photon terpolarisasi yang dihasilkan adalah photon X, yang hendak diteleportasikan, yang berjalan ke Alice. Setelah melewati polarisator, X adalah photon independen, tak lagi terjerat. Dan walaupun kami tahu polarisasinya lantaran kami mengeset polarisator, Alice tidak tahu. Kami memakai ulang pulse ultraviolet dengan cara ini untuk memastikan bahwa Alice mendapatkan photon A dan X pada waktu bersamaan.
Kini kita sampai pada persoalan pengukuran status Bell. Untuk melakukan ini, Alice mengkombinasikan kedua photonnya (A dan X) menggunakan cermin semipantul, sebuah alat yang memantulkan separuh cahaya yang timbul. Sebuah photon memiliki kemungkinan 50-50 untuk menembus atau terpantulkan. Dalam istilah quantum, photon memasuki superposisi dua kemungkinan ini.
Nah asumsikan kedua photon menghantam cermin dari sisi berlawanan, di mana jalur mereka sejajar sehingga jalur pantul photon yang satu terletak sepanjang jalur transmisi photon yang lain, dan sebaliknya. Sebuah detektor menunggu di ujung setiiap jalur. Biasanya, kedua photon akan terpantulkan secara terpisah, dan akan ada 50% kemungkinan mereka tiba di detektor berbeda. Namun jika photon-photon tersebut dapat dibedakan dan tiba di cermin pada jenak waktu yang sama, interferensi quantum terjadi: beberapa kemungkinan menghilang dan tidak terjadi, sedangkan kemungkinan lain menguat dan terjadi lebih sering. Ketika photon-photon berinterferensi, mereka hanya punya kemungkinan 25% berakhir di detektor berbeda. Selanjutnya, hasil tersebut ekuivalen dengan pendeteksian salah satu dari empat kemungkinan status Bell dua photon—yang tadi kita sebut “beruntung”. Sedangkan 75% kemungkinan sisanya adalah kedua photon berakhir di satu detektor, yang ekuivalen dengan tiga status Bell lain tapi tidak membedakan ketiganya.
Ketika Alice secara serempak mendeteksi satu photon di tiap detektor, photon Bob seketika menjadi replika photon X asli milik Alice. Kami memverifikasi bahwa teleportasi ini terjadi dengan menunjukkan bahwa photon milik Bob memiliki polarisasi yang kami kenakan pada photon X. Eksperimen kami tidak sempurna, tapi polarisasinya terdeteksi 80% (photon-photon sembarang akan mencapai 50%). Kami mendemonstrasikan prosedur beraneka polarisasi: vertikal, horizontal, linier dengan sudut 45 derajat, dan bahkan polarisasi sirkuler nonlinier.
Aspek tersulit dalam penganalisa status Bell kami adalah menjadikan photon A dan X tak bisa dibedakan. Bahkan penetapan waktu tibanya photon bisa dipakai untuk mengidentifikasi photon mana yang tiba, sehingga penting sekali “menghapus” informasi waktu yang diangkut oleh partikel. Dalam eksperimen kami, kami menggunakan trik cerdik yang pertama kali diusulkan oleh Marex Zukowski dari Universitas Gdansk di Polandia: kami mengirim photon melewati filter panjang-gelombang ber-bandwidth sempit. Proses ini menjadikan panjang-gelombang photon-photon sangat presisi, dan berkat relasi ketidakpastian Heisenberg, itu akhirnya melumuri photon-photon.
Kasus menyusahkan timbul ketika photon yang diteleportasikan terjerat dengan photon lain sehingga tidak memiliki polarisasinya sendiri. Pada 1998, kelompok Innsbruck saya mendemonstrasikan skenario ini dengan memberi Alice photon D tanpa mempolarisasinya, supaya tetap terjerat dengan photon C. Kami menunjukkan bahwa ketika teleportasi berhasil, photon B Bob terjerat dengan photon C. Keterjeratan dengan C telah ditransmisikan dari D ke B.
Kelompok saya sekarang di Universitas Wina mampu melakukan transportasi keterjeratan dengan kejituan demikian tinggi sampai-sampai korelasi nonlokal antara photon B dan C melanggar ketidaksetaraan Bell. Kualitasnya cukup tinggi untuk memungkinkan [terwujudnya]repeater quantum, yang dperlukan untuk menghubungkan komputer-komputer quantum pada jarak amat luas. Tak lama kemudian, kami mengatasi batasan eksperimen awal kami. Sebelumnya, Bob harus betul-betul mendeteksi, sehingga merusak photon X, untuk memastikan teleportasi berhasil. Eksperimen kami menyediakan sorot qubit-qubit teleportasi yang menjalar bebas yang muncul dari pihak Bob, menunjukkan bahwa langkah ini tidak esensial. Ini penting dalam kasus di mana qubit-qubit akan dipakai lagi dalam suatu hal.
Status Kuda-kudaan
Eksperimen kami dengan jelas mendemonstrasikan teleportasi, tapi tingkat keberhasilannya rendah. Karena kami bisa mendeteksi satu status Bell saja, kami dapat menteleportasi photon milik Alice 25% saja—kesempatan ketika status tersebut ada. Tak ada penganalisa status Bell utuh untuk photon-photon independen atau untuk dua partikel quantum yang terbentuk secara terpisah, sehingga saat ini tak ada cara yang terbukti secara eksperimen untuk memperbaiki efisiensi skema kami sampai 100%.
Pada 1994, sebuah cara untuk menghindari persoalan ini diusulkan oleh Sandu Popescu, kala itu di Universitas Cambridge. Dia menyatakan bahwa status yang hendak diteleportasikan boleh jadi adalah status quantum yang bermain kuda-kudaan di atas photon A milik Alice. Kelompok Fransesco De Martini di Universitas Rome I “La Sapienza” berhasilkan mendemonstrasikan skema ini pada 1997. Pasangan photon terjerat sesuai lokasi photon-photon: photon A terpecah, seperti oleh pemecah sorot, dan dikirim ke dua bagian peralatan Alice, di mana kedua alternatif itu dihubungkan, oleh keterjeratan, dengan pemecahan photon B Bob. Status yang hendak diteleportasikan juga diangkut oleh photon A Alice—status polarisasinya. Dengan kedua peran yang dimainkan oleh satu photon, pendeteksian empat kemungkinan status Bell menjadi standar pengukuran partikel tunggal: mendeteksi photon Alice di salah satu dari dua kemungkinan lokasi yang memiliki salah satu dari dua kemungkinan polarisasi. Kekurangan skema ini adalah, Alice tak bisa menteleportasi photon X yang terpisah dan tak dikenal. Untuk melakukannya dia harus mentransfer statusnya ke photon A, yang pada esensinya merupakan prosedur teleportasi itu sendiri.
Polarisasi sebuah photon, fitur yang dipergunakan oleh eksperimen Innsbruck dan Roma, adalah kuantitas diskrit, dalam arti bahwa status polarisasi bisa diekspresikan sebagai superposisi dua status diskrit saja, misalnya polarisasi vertikal dan horizontal. Medan elektromagnet yang diasosiasikan dengan cahaya juga mempunyai fitur-fitur malar (continuous) yang sama dengan superposisi status-status dasar dalam jumlah tak terhingga. Contoh, sorot cahaya bisa “diperas”, berarti salah satu atributnya dijadikan amat presisi, atau bebas derau (noise-free), dengan mengorbankan keacakan besar pada atribut lain (ala Heisenberg). Pada 1998, kelompok Jeffrey Kimble di California Institute of Technology menteleportasi status terperas semacam itu dari satu sorot cahaya ke sorot cahaya lain, mendemonstrasikan teleportasi fitur malar. Pada 2002, sebuah kelompok di Australian National University di Canberra yang dipimpin oleh Ping Koy Lam menyadari teleportasi semacam itu dengan kejituan amat tinggi.
Meski luar biasa, eksperimen-eksperimen ini masih jauh dari teleportasi quantum objek besar. Ada dua persoalan esensial: pertama, kita membutuhkan sepasang objek besar yang terjerat. Kedua, objek yang hendak diteleportasikan dan pasangan terjerat harus cukup terisolir dari lingkungan. Jika cukup informasi bocor ke atau dari lingkungan melalui interaksi yang bocor, status quantum objek terdegradasi, sebuah proses yang disebut dekoherensi. Sulit membayangkan bagaimana kita bisa mencapai isolasi seekstrim itu untuk sebuah objek, apalagi untuk makhluk hidup yang menghirup udara dan memancarkan panas. Tapi siapa yang tahu seberapa cepat perkembangan akan terjadi di masa depan?
Tentu saja kita bisa menggunakan teknologi yang ada untuk menteleportasi status-status elementer, seperti status photon dalam eksperimen kami, melintasi jarak beberapa kilometer dan bahkan mungkin sampai satelit. Teknologi untuk menteleportasi status atom-atom sudah dalam genggaman hari ini: kelompok yang dipimpin oleh Serge Haroche di École Normale Supérieure di Paris telah mendemonstrasikan keterjeratan atom-atom. Keterjeratan dan teleportasi molekul layak diharapkan terwujud dalam satu dekade ke depan.
POJOK SKEPTIS
Jawaban Terhadap Pertanyaan Lazim Tentang Teleportasi
Tidakkah berlebihan menyebut ini teleportasi? Bagaimanapun, hanya status quantum yang diteleportasikan, bukan objek sungguhan.
Apa yang kita maksud dengan identitas? Bagaimana kita tahu bahwa sebuah objek—katakanlah, mobil yang kita jumpai di garasi pagi ini—sama dengan yang kita lihat beberapa waktu sebelumnya? Ketika ia memiliki semua fitur dan atribut yang benar. Fisika quantum menguatkan poin ini: partikel-partikel berjenis sama dan berstatus quantum sama tidak bisa dibedakan sekalipun secara prinsip. Jika kita dapat secara cermat menukar semua atom besi pada mobil dengan atom besi dari gumpalan bijih [besi] dan mereproduksi status-status atom secara persis, hasil akhirnya akan identik, pada level terdalam, dengan mobil asli. Identitas tidaklah lebih dari ini: sama dalam semua atribut.
Bukankah ini lebih mirip “penge-faks-an quantum”?
Penge-faks-an menghasilkan salinan yang mudah dibedakan dari aslinya. Terlebih, gara-gara no-cloning theorem quantum, dalam teleportasi quantum objek asli harus dimusnahkan.
Bolehkah kita berharap menteleportasi objek rumit?
Ada beberapa rintangan. Pertama, objek harus berada dalam status quantum murni, dan status semacam itu sangat rapuh. Eksperimen terhadap atom dan objek besar harus dilakukan di ruang vakum untuk menghindari tubrukan dengan molekul gas. Bahkan segumpal kecil materi akan terganggu oleh radiasi termal dari dinding peralatan. Inilah mengapa kita tidak menjumpai efek-efek quantum di dunia keseharian kita. Persoalan lainnya adalah pengukuran status Bell. Apa maknanya melakukan pengukuran status Bell sebuah virus yang terdiri dari, katakanlah, 107 atom? Bagaimana kita mengekstrak 108atau lebih bit informasi yang akan dihasilkan oleh pengukuran tersebut? Untuk objek seberat beberapa gram saja, angkanya jadi mustahil: lebih dari 1024 bit data.
Akankah penteleportasian manusia mensyaratkan akurasi quantum?
Berstatus quantum sama bukan berarti menjadi orang yang sama. Kita berganti status [quantum] kita sepanjang waktu dan kita tetap orang yang sama—setidaknya sejauh yang kita tahu! Sebaliknya, kembar identik atau klon biologis bukanlah “orang yang sama”, sebab mereka memiliki kenangan berbeda. Apakah prinsip ketidakpastian Heisenberg mencegah kita mereplikasi seseorang secara persis sampai dia berpikir dirinya sama dengan yang asli? Entahlah. Namun menggairahkan sekali bahwano-cloning theorem quantum melarang kita membuat replika sempurna seseorang.
Semua pihak menebak-nebak apa yang akan terjadi sesudah itu. Pada 2002, kelompok Eugene Polzik di Universitas Århus, Denmark, mendemonstrasikan keterjeratan pusingan dua ansambel, masing-masing mengandung sekitar 1012 atom. Eksperimen ini membuka kemungkinan menteleportasi sistem yang mengandung banyak atom.
Penerapan penting teleportasi mungkin ada dalam komputasi quantum, di mana gagasan bit lazim (0 dan 1) diperumum menjadi bit quantum, atau qubit, yang bisa eksis sebagai superposisi dan keterjeratan 0 dan 1. Teleportasi dapat digunakan untuk mentransfer informasi quantum di antara prosesor-prosesor quantum. Teleporter quantum juga bisa dipakai untuk membangun komputer quantum [lihat boks Komputer Quantum]. Kartun di boks atas mengilustrasikan situasi menggairahkan di mana kombinasi teleportasi dan komputasi quantum adakalanya menghasilkan keuntungan, seolah kita menerima informasi yang diteleportasikan secara instan, ketimbang harus menunggunya datang lewat sarana normal.
KOMPUTER QUANTUM
Barangkali penerapan teleportasi quantum yang paling penting, tapi masih hipotetis, di luar riset fisika adalah komputasi quantum. Komputer digital konvensional bekerja dengan bit-bit, yang memikul angka definitif 0 atau 1, sedangkan komputer quantum memakai bit-bit quantum, atau qubit. Qubit bisa berada dalam superposisi quantum 0 dan 1 sebagaimana photon bisa berada dalam superposisi polarisasi horizontal dan vertikal. Bahkan, dalam pengiriman sebuah photon, teleporter quantum dasar mentransmisikan sebuah qubit informasi quantum.
Superposisi bilangan mungkin terdengar aneh, tapi sebagaimana dikatakan oleh almarhum Rolf Landauer dari IBM, “Ketika kita masih kecil dan belajar menghitung dengan jari-jemari klasik kita, kita mendapatkan intuisi yang keliru. Kita berpikir bahwa informasi [bersifat] klasik. Kita berpikir bahwa kita dapat mengacungkan tiga jari, lalu empat jari. Kita tak sadar bahwa boleh jadi ada superposisi keduanya.”
Komputer quantum dapat mengerjakan superposisi banyak input berlainan sekaligus. Ia dapat menjalankan algoritma secara serentak pada satu juta input, hanya menggunakan qubit sebanyak yang diperlukan komputer konvensional untuk menjalankan satu algoritma pada satu input. Para teoris telah membuktikan bahwa algoritma yang berjalan pada komputer quantum bisa memecahkan persoalan tertentu lebih cepat (dengan langkah komputasi lebih sedikit) dibanding algoritma manapun pada komputer klasik. Persoalan tersebut meliputi penemuan item-item dalam database dan pemfaktoran bilangan besar, yang sangat menguntungkan untuk memecahkan kode rahasia.
Sejauh ini baru elemen terdasar komputer quantum yang telah dibangun: gerbang logika yang bisa memproses satu atau dua qubit. Realisasi komputer quantum skala kecil masih jauh sekali. Persoalan kunci adalah mentransfer data quantum secara andal antara berbagai gerbang logika atau prosesor, baik dalam komputer quantum tunggal atau lintas jaringan quantum. Teleportasi quantum adalah solusinya.
Daniel Gottesman dari Microsoft dan Isaacr L. Chuang dari IBM membuktikan bahwa komputer quantum umum bisa dibangun dari tiga komponen dasar: partikel-partikel terjerat, teleporter quantum, dan gerbang yang beroperasi pada satu qubit dalam satu waktu. Temuan ini menyediakan cara sistematis untuk mengkonstruksi gerbang dua-qubit. Secara umum, membangun gerbang dua-qubit untuk qubit-qubit terpisah menghadirkan tantangan eksperimen yang sama dengan merealisasikan penganalisa status Bell untuk sistem-sistem terpisah; dan salah satunya, begitu terealisasi, bisa dipakai untuk membangun yang lainnya.
Mekanika quantum barangkali merupakan salah satu teori paling mendalam yang pernah ditemukan. Persoalan yang diangkatnya untuk intuisi harian kita mengenai dunia menuntun Einstein mengkritiknya dengan pedas. Dia bersikeras bahwa fisika semestinya adalah upaya untuk memahami realitas yang eksis secara independen berdasarkan observasi. Tapi dia sadar bahwa kita memasuki persoalan berat ketika mencoba mengatributkan realitas fisik independen tersebut pada anggota-anggota sebuah pasangan terjerat. Rekan hebatnya, fisikawan Denmark, Niels Bohr, bersikeras bahwa kita harus memperhitungkan keseluruhan sistem—dalam kasus pasangan terjerat adalah susunan kedua partikel, tak peduli seberapa jauh pun mereka terpisah. Keinginan Einstein, status riil independen tiap partikel, tak memiliki makna untuk sistem quantum terjerat.
Teleportasi quantum adalah turunan langsung skenario-skenario yang diperdebatkan Einstein dan Bohr. Kita memsuki segala macam persoalan jika bertanya kepada diri sendiri bagaimanasebetulnya atribut partikel-partikel ketika mereka [saling] terjerat. Kita harus menganalisa secara cermat apa pentingnya “memiliki” polarisasi. Kita tak bisa lari dari kesimpulan bahwa yang dapat kita bicarakan hanyalah hasil eksperimen tertentu yang diperoleh melalui pengukuran. Dalam pengukuran polarisasi, klik detektor memperkenankan kita mengkonstruksi gambaran dalam pikiran kita di mana photon betul-betul “memiliki” polarisasi tertentu. Tapi kita harus selalu ingat bahwa ini cuma cerita bikinan. Ini hanya valid jika kita berbicara tentang eksperimen spesifik tersebut, dan kita mesti berhati-hati saat menggunakannya dalam situasi lain.
Memang, menyusul Bohr, saya berargumen bahwa kita dapat memahami mekanika quantum jika kita sadar bahwa sains tidak mendeskripsikan bagaimana alam sebetulnya melainkan mengartikulasikan apa yang dapat kita katakan tentang alam. Dalam bahasa modern, ini berarti mekanika quantum adalah sains pengetahuan, sains informasi. Di sinilah letak nilai terkini eksperimen fundamental semisal teleportasi: membantu kita menjangkau pemahaman lebih dalam akan dunia quantum kita yang misterius.
Penulis
Anton Zeilinger [anton.zeilinger@quantum.at] bekerja di Institute of Experimental Physics, Universitas Wina, setelah berteleportasi ke sana pada 1999 dari Universitas Innsbruck. Dia menganggap dirinya sangat beruntung mendapat kehormatan mengerjakan misteri dan paradoks mekanika quantum yang menyeretnya ke dalam fisika hampir 40 tahun silam. Dalam waktu luangnya yang sedikit, Zeilinger berinteraksi dengan musik klasik dan jazz dan bersenang senang main ski.
Untuk Digali Lebih Jauh
  • Experimental Quantum Teleportation. D. Bouwmeester, J.W. Pan, K. Mattle, M. Eibl, H. Weinfurter, dan A. Zeilinger dalam Nature, Vol. 390, hal. 575-579, 11 Desember 1997.
  • Quantum Information. Physics World edisi khusus, Vol. 11, No. 3, Maret 1998.
  • Quantum Theory: Weird and Wonderful. A. J. Leggett dalam Physics World, Vol. 12, No. 12, hal. 73-77, Desember 1999.
  • Entanglement: The Greatest Mystery in Physics. Amir D. Aczel. Four Walls Eight Windows, New York, 2002.
  • Materi lain tentang teleportasi quantum tersedia di www.quantum.at.
Sumber: sainstory.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar