Senin, 04 Juni 2012

Menyorot Konsep Atheis Pada Buku “Grand Design” Stephen Hawking



Bagi para penggemar ilmu Fisika, pasti tidak akan asing dengan nama Stephen Hawking. Ia adalah seorang ahli fisika teoretis dan seorang profesor Lucasian dalam bidang matematika di Universitas Cambridge dan anggota dari Gonville and Caius College, Cambridge. Ia dikenal akan sumbangannya di bidang fisika kuantum, terutama karena teori-teorinya mengenai teori kosmologi, gravitasi kuantum, lubang hitam, dan radiasi Hawking. Ia menderita tetraplegia (kelumpuhan) karena sklerosis lateral amiotrofik, karier ilmiahnya terus berlanjut selama lebih dari empat puluh tahun. Buku-buku dan penampilan publiknya menjadikan ia sebagai seorang selebritis akademik dan teoretikus fisika yang termasyhur di dunia.
Hawking berpemahaman agnostik dalam masalah agama. Ia telah menggunakan kata “Tuhan” (secara metaforis) untuk menggambarkan poin dalam buku-buku dan pidatonya. Mantan istrinya, Jane, menyatakan saat proses perceraian bahwa Hawking adalah seorang atheis. Hawking menyatakan bahwa ia “tidak religius secara akal sehat” dan ia percaya bahwa “alam semesta diatur oleh hukum ilmu pengetahuan. Hukum tersebut mungkin dibuat oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak melakukan intervensi untuk melanggar hukum.”
Pada September 2010, The Telegraph dan Times Newspaper memberitakan, bahwa Stephen Hawking di dalam buku terbarunya, The Grand Design menyatakan bahwa Tuhan bukan pencipta alam semesta. Hawking menulis dalam bukunya tersebut :
Because there is a law such as gravity, the universe can and will create itself from nothing…spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the universe exists, why we exist
“Karena adanya hukum seperti gravitasi, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya sendiri dari tanpa sesuatu apapun (nothing)… Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa ’sesuatu’ itu ada dari tanpa sesuatu apapun, inilah alasan mengapa alam semesta eksis dan kita pun juga eksis.”
Dari kutipan pemberitaan di atas, Professor Hawking mengklaim bahwa alam semesta terbentuk secara spontan dari tanpa sesuatu apapun. Professor mengambil kesimpulan seperti ini berangkat dari pemahaman tentang konsep indeterministik fisika, yaitu dia meyakini bahwa ada peristiwa-peristiwa sub-atomik yang tidak berkaitan dengan kausalitas, karena sebagian pakar fisika mengklaim bahwa partikel-partikel sub-atomik berjalan secara unpredictably dan spontan di dalam kuantum vakum tanpa ada sebab yang bisa diketahui.
Saudara Hamza Tzortzis memiliki kritikan yang bagus tentang konsep ini. menurut beliau, ada dua problem utama dengan konsep ini, yaitu :
  1. Kuantum vakum itu bukanlah sesuatu yang tidak ada (nothing). Jadi klaim bahwa alam semesta terbentuk sendiri dari tanpa sesuatu apapun dengan dasar observasi yang dilakukan pada kuantum level adalah suatu hal yang menyesatkan. Karena vakum itu sendiri sebenarnya adalah ‘sesuatu’, yang merupakan lautan fluktuasi energi dengan struktur yang kompleks dan mengikuti hukum alam. Untuk itulah banyak pakar fisika lain yang mengadopsi konsep deterministik fisika berangkat dari observasi yang dilakukan pada kuantum level, seperti David Bohm.
  2. Secara filosofi, pandangan indeterministik ini tidak memiliki argumen yang kuat dan absurd. Rasanya tidak rasional jika kita mengatakan bahwa alam semesta terbentuk secara spontan dengan sendirinya tanpa ada kausalitas. Semua yang kita lihat di alam semesta ini pasti memiliki sebab. Segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi pasti memiliki sebab. Ini adalah suatu yang tidak terbantahkan, karena pengalaman manusia tidak pernah ada yang menyaksikan bahwa sesuatu itu berasal dari ketidakadaan dan keluar dari konsep kausalitas. Tanpa konsep kausalitas, kita tidak akan memiliki mental framework untuk memahami observasi dan pengalaman. Menurut istilah filosofi, kausalitas itu adalah priori yang berarti pengetahuan yang kita miliki adalah pengalaman independen.
Sebagai contohnya :
  • Lingkaran itu tidak memiliki sudut.
  • Bapak (dalam artian sex) itu pastilah lelaki.
  • 4 + 4 = 8
  • Waktu itu bersifat irreversible (tidak dapat berulang/kembali)
  • Segala sesuatu yang berawal keberadaannya pasti memiliki sebab (cause).
Ini adalah general truth (kebenaran umum) yang aksiomatis. Kita yakin bahwa kausalitas itu ada. Pemahaman sehat kita pastilah akan menolak bahwa sesuatu itu terbentuk dengan sendirinya dari ketiadaan tanpa adanya kausalitas. Coba kita perhatikan premis berikut :
  1. Segala sesuatu yang berawal eksistensinya pasti memiliki sebab.
  2. Alam semesta itu eksis.
  3. Karena itu, alam semesta pastilah memiliki sebab.
Dari premis di atas, menunjukkan bahwa premis 1 dan 2 adalah kebenaran, maka secara logis menghasilkan premis 3, yaitu segala sesuatu yang eksis pasti memiliki sebab.
Namun, untuk mengambil kesimpulan bahwa “sebab” ini adalah tuhan, maka kita dapat menggunakan konsep analisa logis sebagai berikut :
  • Bahwa “sebab” ini tidaklah terkait dengan waktu dan zaman, karena waktu dan zaman itu ada oleh karena eksistensi “sebab” ini.
  • “Sebab” ini harus bersifat uncaused (tidak bersebab), sebab kalo “sebab” ini memiliki “sebab” niscaya tidak akan nada akhirnya (ad infinitum).
  • “Sebab” ini haruslah bersifat immaterial dan berada di luar materi, sebab tidak mungkin pencipta materi adalah materi itu sendiri.
  • “Sebab” ini haruslah memiliki kecerdasan dan kehendak, sebab tanpa keduanya tidak akan ada eksistensi alam semesta dengan keteraturan yang sangat luar biasa.
Jadi, “sebab” yang bersifat transenden ini adalah tuhan, karena sifat-sifat di atas adalah sifat-sifat ketuhanan. Dan konsep Islam tentang tuhan lah yang paling sempurna menjelaskan hal ini, sebagaimana di dalam al-Qur`ân surat ath-Thûr :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak yakin (akan yang mereka katakan).” (Ath-Thur 52 : 35-36)
Konsep ketuhanan yang dipaparkan al-Qur`ân ini menjelaskan konsep logis akan eksistensi tuhan, yaitu :
  • Apakah mereka berasal dan diciptakan dari tanpa sesuatu apapun (nothing)?
  • Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri dan yang menciptakan alam semesta?
Secara aksiomatis, tidak mungkin sesuatu itu diciptakan dari tanpa sesuatu apapun (nothing) sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, ataukah sesuatu itu menciptakan dirinya sendiri maka ini juga suatu hal yang menyalahi logika akal sehat. Karena itulah, mereka yang mengusung pemahaman ini, mereka sendiri bingung dan tidak yakin dengan apa yang mereka katakan.
Jadi, konsep yang dibawa oleh Professor Hawking di dalam buku barunya tersebut menempatkan dirinya dalam posisi self defeating (kalah dengan sendirinya), sebab ketika dia mengklaim bahwa sesuatu itu berasal dari tanpa sesuatu apapun dan tanpa adanya kausalitas pada konsep kuantum level yang diusungnya, maka ini sama artinya dengan mengatakan bahwa bukunya The Grand Design tidaklah ditulis oleh dirinya, namun buku tersebut ada secara spontan dan eksis tanpa adanya kausalitas, dan berasal dari tanpa sesuatu apapun (nothing)!!!
Semuanya tahu, bahwa dari ketidakadaan, sesuatu yang tidak ada itu ada. Inilah mengapa Professor Hawking jatuh kepada kontradiksi dengan mengatakan bahwa, “alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya karena gravitasi.” Ini artinya professor meyakini akan adanya kausalitas, namun jika ditanyakan dari manakah gravitasi ini berasal, maka professor menjawab dari tanpa sesuatupun (nothing), maka kami bisa mengatakan hal yang sama, “juga demikian dengan buku Anda The Grand Design, berasal dari tanpa sesuatu apapun! Karena Anda adalah bukan sesuatu (nothing) menurut konsep Anda!
 rachdie.blogdetik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar